“Kenapa kau datang lagi”
“Aku datang bukan untuk memenuhi panggilanmu,
aku datang atas kemauanku sendiri”
“Aku tak sudi jika kau datang”
“Meski kau tak sudi aku tetap di sini”
“Pergi kau!”
“Sudah cukup banyak kau mencelakakanku”
“Maksudmu?”
“Sudah cukup banyak kau membuatku celaka”
“Itu bukan kemauanku saja, ada juga kau
menginginkannya begitu”
“Ko’ bisa? Aku?”
“Buktinya bisa”
“Tak semua kemaksiatan yang kau lakukan,
itu dariku saja”
“Kau juga punya bakat untuk cenderung ke sana, jadi jangan salahkan
aku, kau juga harus mampu menyalahkan dirimu sendiri.”
“Keluar kau!”
“Sudah kubilang aku akan tetap di sini
mengikutimu”
“Aku tak mau diikuti”
“Meski kau tidak mau, aku tetap mengikuti”
“Pergi kau! Aku sudah bosan dengan bujuk
rayuanmu”
“Meksi sering kau katakan “bosan” kau juga
selalu senang melakukakannya, jangan munafik”
“Apa? Kau bilang aku munafik?”
“Ya.. memang kau orang yang munafik”
“Dari segi apa, kau menyebutku munafik?”
“Dari segi bicaramu, yang banyak tak sama
dengan tindakanmu?”
“Ugh.. itu juga karena pengaruhmu?”
“Sekali lagi, jangan kau timpakan semua
kesalahan kepadaku saja..! itu memang tabiatmu”
“Ko’ bisa?”
“Buktinya bisa, kau selalu melakukan hal
itu, meski kadang sering kau tutupi, tapi aku tahu semuanya”
“Pergi kau, jangan kau mengikutiku terus!”
“Jika aku tidak ikut, kau tetap membutuhkanku”
“Mana mungkin aku butuh kamu”
“Jangan munafik, kau butuh aku, disaat kau
berbeda kepentingan dengan lawan-lawanmu”
“Ma’af, kadang aku memang khilaf, tidak kau
pernah menemui manusia yang berbuat tidak
pernah berbuat khilaf? Dalam dunia kami, hal itu memang
biasa.”
“Nah sekarang kau mengakui hal itu..”
“terus..?”
“Bagus, He…he…”, dia tertawa mringis
“Pergi kau.. pergi…!” teriakku
“Suruh saja orang yang baca tulisan ini
pergi, dari pada sejak tadi tidak mengerti pembicaraan ini.”
“Lho ko’ gitu?”
….
Paciran, 13 Oktober 2009
Posting Komentar
Posting Komentar
komentar yang baik, akan kami terima dengan baik pula